Jumat, 11 April 2008

POTENSI PELANGGARAN DALAM PILKADA

Opini

Telah Terbit Tribun timur (28.12.2007)

POTENSI PELANGGARAN DALAM PILKADA

Oleh: Patawari, S.Hi. MH

Penyeleggaraan Pemilu kepala daerah merupakan babak baru demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia. Seluruh masyarakat yang memenuhi syarat diberikan hak dalam menentukan pilihan kepala daerah. Pemilihan umum kepala daerah merupakan sistem pemilihan yang sangat demokratis dan berkedaulatan rakyat. Masyarakat tidak lagi menjadi supporter dalam penentuan kepala daerah, akan tetapi masyarakat diberikan ruang untuk menjadi voter (pemain) yang suaranya bernilai setara dengan masyarakat lainya, baik ia pejabat, Tukang becak Pofessor. Demokrasi memandang setiap individu sebagai satu representasi suara yang berhakmempunyai sikap.

Penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah tentu diharapakan menjadi sebuah media dalam melakukan perubahan sistem ketatanegaraan dan pemerinthan di Indonesia, sebab ketika perjalanan sistem pemerintahan sama dengan sebelumnya (orde baru dan Orde reformasi) maka sistem pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara langsung oleh seluruh masyarakat dianggap mengalami kegagalan, tentunya sistem tersebut lambat laun akan mengalami perubahan sampai mendapatakan sistem yang lebih sempurna.

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah menjadi tumpuan kepada komisi pemilihan umum sebagai organizing pada pelaksanaan pemilihan yang diharapakan dapat melaksanakan amanah Negara. Melaksanakan amanah Negara bukan hanya secara luber dan jurdil akan tetapi penyelenggara harus professional dan mempunyai sikap mental untuk tetap mandiri, bahwa hanya aturan yang dapat dijadikan acuan pelaksanaaan bukan sebuah interfensi dari pihak manapun.

Alasan bahwa anggota KPU dalam menyelenggarakan pemilihan umum harus profesional dan mental sebab, pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah tidak dapat dipungkiri akan banyak problem yang tentunya tidak hanya diatasi dengan kekuatan loby semata, akan tetapi harus di hadapi dengan alasan /argumentasi hukum sebagai acuan pelaksanaan penyelenggaraan pemilihan umum.

Berbagai potensi pelanggaran yang dimungkinkan akan terjadi pada pemilihan kepala darah, paling tidak sebai acuan adalah pada pelaksanaan pemilihan umum legislatif dan presiden pada tahun 2004.

Komisi Pemilihan Umum

Pasal 9 undang –undnag nomor 22 tahun 2007 bahwa tugas dan wewenang Komisi pemilihan pada penyelenggaraan kepala daerah dan wakil kepala daerah yaitu memutakhirkan daftar pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar pemilih.

Pendaftaran pemilih dilakukan harus berjalan sesuai mekanisme, untuk pendaftaran pemilih komisi Pemilihan umum melakukan kerjasama dengan eksekutif dalam hal ini adalah biro dekonsentrasi guberuran. Mencermati proses Daftar potensi pemilih dan pemilih berkelanjutan (P4B) di sulawesi selatan pada awal-awalnya sudah mengalami polemic yang tarik ulur antara KPU provinsi dan biro dekonsentrasi . hal ini bisa mengakibatkan tidak adanya keakuratan data yang dipegang oleh KPU Provinsi sehingga dimungkinkan adanya masyarakat yang sudah memenuhi syarat akan tetapi tidak melakukan pencoblosan dengan alasan tidak terdaftarnya sebagai pemilih

Sebuah riset akademik mutakhir, baru-baru ini menemukan fakta luar biasa tentang pemilih tetap yang tidak sesuai dengan aturan keputusan KPU dengan pegangan KPu di Tingkat kabupaten. Ini menyebabkan inkonsistensi dan akan berefek pada kehilangan hak pilih bagi sebagian masyarakat yang seharusnya dapat memilih. Asumsinya bahwa KPU Kabupaten/kota tidak mengacu pada aturan keputusan KPU sebagai landasan untuk menentukan jumlah pemilih tetap sedangkan keputusan KPU tentang jumlah pemilih tetap itudi lakukan dari proses P4B dan usulan dari Kabupaten/kota untuk ditetapkan menjadi pemilih tetap. Tetapi ironis di lapangan adalah KPU Kabupaten mempunyai pegangan tersendiri tentang jumlah pemilih tetap sehingga tentunya tidak sama dengan aturan keputusan KPU, yang sesunguhnya harus menjadi pegangan dalam menyelenggarakan pemilihan legislatif. Akibanya banyak masyarakat yang tidak mempunyai hak pilih karena tidak terdaftar dan sebaliknya ada terdiri atas beberapa masyarakat yang melakukn pencoblosan sampai tiga kali.

Golput (golongan putih) merupakan bagian dari pada demokrasi untuk tidak membrikan hak pilihnya pada pemilihan kepala daerah, sebab melakukan pemilihan bukan merupakan kewajiban warga Negara akan tetapi menjadi hak warga Negara untuk memberikan atau tidak hak pilihnya. Lahirnya golongan putih dimungkinkan dengan alasan memang tidak ada figure yang dianggap kapabel untuk menjadi kepala daerah. Kedua adalah karena adanya aktfifitas yang lebih penting untuk harus dijalankan ketimbang memberikan hak pilihnya. Akan tetapi ketika masyarakat mempunyai hak dan menginginkan untuk memilih tetapi tidak mempunyai legitimasi untuk memilih maka, hal tersebut menjadi ironi sebab masyarakat dibatasi ruang gerak untuk berdemokrasi,

Panwaslu

Salah satu Tugas panitia pengawas pemilihan umum provinsi sebagiana Pasal 76 Undang-undang nomr 22 tahun 2007 poin a yaitu mengawasi penyelenggaran pemilihan umum di wilayah provinsi yang meliputi pelaksanaan kampanye. Pada penagawasan pelaksanaan kampanye tentunya terstruktur sampai pada tingkat Kabupaten/Kota dan kecamatan dan desa/kelurahan.

Tugas panwaslu memang kelihatan begitu rumit dan luas, akan tetapi menjadi tantangan bagi panwaslu untuk mau-tidak mau harus dilaksankaan sebagai janji dan kesaggupan untuk menjalankan amanah sebagaimana dalam undang- undang yang diberikan oleh Negara kesatuan republik Indonesia.

kampanye merupakan titik rangkaian pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang rawan akan terjadinya pelanggaran, pelanggaran yag dimaksud adalah pertama melibatkan anak di bawah umur dalam prosesi kampanye. Kedua kampanye ynag dilakukan tanpa pemberikathuan kepada pihak kepolisian ketiga kampanye dengan melewati batas waktu yang di tentukan.

Pada pelanggaran tersebut di atas pelaku kampanye (tim sukses) dapat bekedok bahwa pelaksanaan yang meibatkan anak di bawah umur, melewati batas kampaye dianggapnya bukan kampanye akan tetapi merupakan silaturrahmi, dan atau ramah tamah para simpatisan.

Sehingga panitia pengawas pemilihan umum (panwaslu) harus cermat dalam mengklasifikasi makna silaturrahmi, ramah tamah, dan kampanye. Seharnya panwaslu harus melakukan kontroling/ pengawasan dari semua tetek bengek aktifitas kandidat. Sehingga panwaslu tidak terkesan passif, hanya malaksanakan pengawasan ketika ada laporan dari masyarakat. Demikian juga pada keterlibatan PNS yang melakukan kampanye terhadap satu kandidat, memanfaatkan fasilitas Negara untuk kepentingan kandidat, melekukan sosialisasi baik secara massif atau secara simbolik di tempat-tempat ibadah.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut sesungguhnya harus mejadi fokus kinerja panwaslu sehingga pada pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah dapat berjalan sesuai dengan asas penyelenggaraan pemilihan umum sebgaimana pada psal 2 undang-undang no. 22 tahun 2007 yaitu mandiri, jurdil , professional, kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemilu, kepentingann umum, keterbukaan, proposionalitas, akuntabilitas efesiensi dan efektifitas.

Penulis,

Adalah Koordinator Masyarakat Hukum Indonesia.

Staff dosen luar biasa fakultas syari’ah dan Hukum UIN Alauddin

Mengantisipasi Munculnya Masalah

Opini

Mengantisipasi Munculnya Masalah

Dalam Pilkada

Bangsa yang belajar adalah bangsa yang setiap waktu senantiasa berbenah diri dalam melakukna perubahan-perubahan kearah yang lebih sempurna. Pemerintah Indonesia telah berusaha membenahi sistem yang telah ada dengan landasan untuk mengedepankan kepentingan rakyat. Walaupun dalam pelaksanaan pilkada masih ditemui berbagai macam permasalahan tetapi ini semua wajar karena indonesia baru pada tahap belajar berdemokrasi yang langsung dilaksanakan oleh masyarakat. Juga merupakan pembelajaran politik masyarakat. Sehingga masyarakat dapat sadar dengan pentingnya berdemokrasi, menghargai pendapat, kebersamaan dalam menghadapai sesuatu. Sebagai motifasi dalam pembelajaran demokrasi-politik yang baik adalah tidak melakukan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.

Belajar berdemokrasi

Pembelajaran berdemokrasi bukan hanya dimaksudkan untuk masyarakat akan tetapi segenap elemen pemerintahan, lembaga-lembaga yang terkait didalamnya seperti KPU, Partai Politik, Kepolisian dan kelompok-kelompok LSM serta Non Govenance Orgnitation (NGO)

Kesadaran berdemokrasi sangatlah penting untuk dipahami masyarakat, bukan hanya dipahami sekedear memberikan aspirasi kepada pemerintah yang berwewenang, akan tetapi pada pemilihan kepala daerah merupakan demokrasi yang tak kalah pentingnya sehingga masyarakat dituntut untuk engimplementasikan kedaulatanya, karena akan menentukan proses perjalanan pemerinatahan selama lima tahun kedepan. Asumsinya bahwa dengan demokrasi langsung dari masyarakat maka baik buruknya suatu daerah sangat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri, dengan memilih pemimpin yang berdasaran pilihan murni hati nurani rakyat.

Bahwa, dalam demokrasi langsung selain sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah juga sebagai proses kaderisasi kepemimpinan. Dengan asumsi bahwa Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Disinilah pentingya masyarakat dalam berpartisipasi, berdemokrasi, siap untuk bebeda pendapat, dan saling toleransi.

­Landasan normatif

Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat. Sebagaimana dalam perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Masalah pilkada

Dalam pelaksanaan pilkada takjarang kita dengar adanya penggunaan ijazah palsu, ini sangat memprihatinkan sebab dari proses awal masih saja terdapat bakal calon yang tidak fair dan mejadi calon pemimpin yang bermental korup.

Konsekuensi sebuah petarungan politik pilkada adalah pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan melakukan cara guna mengkritisi lembaga penyelenggara pilkada, bahkan tidak jarang melakukna mengerahkan massa sebagai luapan kekecewaan terhadap proses penyelenggaran. dan ataukah merupakan kekecewaan atas kekalahan dalam sebuah pertarungan. Hal ini membuktikan rendahnya kesadaran poltik masyarakat.

Sebagai langkah antisipasi maka lembaga penyelenggara (KPU) biasanya melakukan ikrar siap menang dan siap kalah. demikian juga kelompok seperti mahasiswa dan LSM/NGO dengan melakukna kampanye “damai”. namun demikian tetap saja ada masalah yang muncul, diselah-selah perubahan konstalasi politik, Masalah-masalah pilkada dimaksudkan sebagai berikut

Intimidasi

Di tengah tengah idealisme masyarakat untuk memilih kepala daerah berdasarkan hati nurani, namun juga masih ada pihak yang melakukan pemaksaan (intmidasi). Sebagai masyarakat yang lemah akan goyah dilemma untuk tidak menerima, sebab akan menjadi ketakutan akan keamanan secara individu dan keluarganya.

Disinilah pentingnya panwaslu dan pihak kepolisian untuk menjamin keamanan pemilih. Maka disetiap daerah kabupaten, kecamatan, desa, bahkan sampai RT/RW selama dalam proses pilkada ditempatkan pihak keamanan untuk memberikan jaminan keselamatan pemilih. Selain dari itu juga pentingnya masyarakat bekerja sama dengan pihak keamanan dan proaktif memberikan laporan ketika terjadi intimidasi.

Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat lemah sangat beresiko fatal sebab selain mencederai proses demokratisasi juga pontesial untuk terjadinya konflik horizontal. Hal ini sangat melanggar cita asas penyelenggaraan pilkada yang jurdil dan luber.

Start kampanye

Tindakan ini paling sering terjadi. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Ditengah-tengah masyarakat yang justru merusak pemandangan kota. Sering juga untuk bakal calon incumbent melakukan tour kebeberapa daerah dengan kedok kunjungan kepala daerah. Juga melakukan pertemuan dengan tokoh masyarakat dengan alasan silaturrahmi. Hal tersebut terlihat intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu.

Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai..

Money politik

Money politik adalah istilah buruk dalam pilkada, namun demikian terkadang juga dilakukan oleh para kontestan, sebab money politik sebagi cara pintas untuk meraut suara lebih banyak. Dan menjadi kebutuhan pangsa pasar (konstituen) yang secara ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah. Sehingga dimanfaatkan untuk menghalalkan segala cara. Money politik bukan hanya dimaksudkan praktek uang sebelum proses pemilihan, tetapi juga dimaksudkan dengan pembagian sembako dengan deal harus memilih calon tertentu.

Dengan rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka pertama dengan mudah diperalat dan diatur hanya karena kepentingan sesaat. Kedua masyarakat tidak kritis dan tidak siap mental untuk berkata tidak….! demi sebuah demokrasi

Kampanye negatif

Kampanye negative dimaksudkan melakukan penebaran fitnah Black campigne terhadap rival. Sesungguhnya sikap tersebut bukan hanya beresiko pada integritas pada calon akan tetapi juga akan mengancam dan merusak integritas daerah tersebut. Sebab lambat laun akan terpublikasi oleh media sampai pada daerah tetangga yang menyaksikan proses pilkada yang dianggap tidak beretika.

Kampanye negative sangat berpengaruh pada munculnya bibit-bibit perpecahan ditengah-tengah masyarakat. Sebab siapapun sebagai tim sukses atau simpatisan tentunya tidak senang dengan adanya issue negative yang diarahkan pada kandidatnya. Disinilah pentingnya sikap toleransi dan perbedaan dalam berdemokrasi.

Dalam berdemokrasi tentunya selalu ada masalah demikian pada proses pilkada yang memang melibatkan orang banyak. Namun demikian menjadi harapan masalah tersebut dapat dieliminir, karena bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan peyelenggara pilkada. Tetapi yang lebih penting adalag peran serta masyarakat untuk membangun daerah yan lebih baik, dengan menjaga ketertiban dan kelancara dalam proses pilkada. Inilah subtansi awal belajar beremokrasi.




Penulis

Patawari, S.Hi., M.H.

Mahasiswa Tantra UNHAS

pilkada dan tanggung jawab sosial

Opini

Pilkada Dan Tanggung

Jawab Sosial

Oleh : Patawari, S.Hi., M.H.

Salah satu unsur demokrasi yang sangat berpengaruh bagi kemandirian politik masyarakat adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung dilaksanakan oleh rakyat. Baik buruknya pilihan masyarakat adalah konsekuensi dari sebuah pilihan langsung. Sehingga masyarakat dituntut untuk menjalankan demokrasi sesuai dengan aturan yang berlaku dan norma-norma yang hidup ditengah-tengah masyarakat setempat.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung pada hakekatnya didesain sebagai medium pembelajaran politik bagi masyarakat, bukan sekedar ajang pilih pemimpin. Esensi inilah yang sangat penting dijadikan arus utama cara pandang dalam memposisikan Pilkada. Sebab, Pilkada tidak mutlak berbuah positif, tapi juga berpotensi melahirkan konflik sosial yang berujung pada lahirnya disintegrasi pada tingkat lokal.

Tanggungjawab sosial

Agar pilkada berjalan sebagaimana ide maka, tidak satupun pihak yang absen melepaskan diri dari tanggungjawab itu. Semua masyarakat baik secara kelompok maupun secara individu turut serta mensukseskan pilkada. Sekalipun dipahami bahwa memilih bukan sebuah kewajiban akan tetapi adalah hak masyarakat untuk memberikan suaranya dalam pilkada. Akan tetapi, secara umum menjadi tanggung jawab bersama dalam menyukseskan pilkada, sebab pilkada nantinya akan bermuara pada dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan. Di sinilah nanti akan terlihat bagaimana hasil pilihan masyarakat, apakah suatu daerah akan lebih bersifat konstruktif atau justru mengalami dekadensi pembangunan manusia dari semua sisi.

Namun demikian, atmosfir pertarungan kepentingan seringkali mengaburkan kesadaran akan tanggungjawab itu. Dalam banyak momen, masyarakat, partai dan pihak-pihak berkepentingan menyebabkan pilkada gagal dan jauh dari tujuan pelaksanaannya. Bahkan lebih dari itu, pilkada telah menabur bibit permusuhan pada tingkat lokal yang tidak hanya mengorbankan harta, tapi juga mengancam keselamatan jiwa. Di sinilah dalam pilkada menjadi renungan, introspeksi, ujian moral dan mental bagi seluruh masyarakat untuk menjalankan prosesi pilkada secara Luber dan Jurdil sebagaimana dalam amanah undang-undang.

Dalam konteks Sulawesi Selatan, yang dalam waktu tidak begitu lama akan melaksanakan Pilkada, maka yang harus dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat yaitu

Pendidikan politik

Sekalipun dipahami bahwa di hampir seluruh kalangan masyarakat sudah cukup dewasa dalam berpolitik, masyarakat dewasa diartikan bahwa masyarakat tidak apatis terhadap prose perpolitikan, dalilnya bahwa kegitan politik dewasa ini, masyarakat kian hari kian aktif dalam percaturan politik. Ketimbang pada masa-masa sebelum adanya perubahan iklim demokrasi dalam sistem ketata negaraan Indonesia yaitu dari demokrasi tak langsung yang hanya dilaksanakan oleh wakil rakyat untuk memilih calon eksekutif menjadi demokrasi langsung di mana masyarakat dilibatkan sebagai votter (pemilih) tidak lagi sebagai supporter saja.

Namun demikian kiranya prosesi politik tidak tercederai, tetap masih dibutuhkan adanya pendidikan politik bagi masyarakat. Yang mesti sampai kepada masyarakat bahwa politik adalah bukan kepentingan individu atau golongan akan tetapi politik adalah kepentingan seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Sebagaimana menurut Isjwara (1999) bahwa “menjadi kewajiban kita semua sebagai warga negara untuk secara aktif dan positif turut memperhatikan dan turut memikirkan masalah-masalah yang dihadapi oleh negara kita”

Secara lembaga, pendidikan politik lebih dititik beratkan kepada partai politik, yang memang menjadi tugasnya dalam memberikan pendidikan politik bagi warga negara. Idealnya, partai politik tidak semata sebagai jembatan politik yang hanya bekerja pada momen politik kekuasaan. Akan tetapi aktifitas partai poltik berjalan secara kontinue dan berkesinambungan, dalam melaksanakan perkaderan/pendidikan, advokasi/pendampingan, kepada masyarakat sesuai dengan warna partai politik masing-masing.

Sesungguhnya, pendidikan politik bukan hanya dipahami keterlibatan politisi, partai politik, kandiat /tim sukses, dan penyelenggara pilkada yang turun langsung memberikan pendidikan baik secara dialog maupun secara simulatif dalam masyarakat. Tetapi pendidikan politik adalah para elemen tersebut memberikan contoh dan sikap yang baik kiranya masyarakat dapat menjadikannya sebagai tauladan (contoh), dan pelajaran bagi masyarakat.

Profesionalitas penyelenggara

Selain masyarakat umum yang mempuyai pengaruh besar dalam menyukseskan pilkada maka juga adalah penyelenggara pilkada dalam hal ini adalah KPU, dan Panwaslu. Kedua lembaga tersebut sebagai lembaga penyelenggaran yang masing-masing mempunyai job diskription pelaksana (organizing) dan pengawasan (controling).

Komisi Pemilihan Umum daerah tentu dituntut profesional dalam menjalankan proses pilkada, sebab akan senantiasa bersentuhan dengan kepentingan besar masyarakat dan aturan yang harus dijalankan. Komisi pemilihan umum Sulawesi Selatan bukan pertama kali melaksanakan proses pemilhan langsung, paling tidak pengalaman pemilu pemilihan legislatif dan eksekutif tahun 2004, menjadi pelajaran dan dapat dilaksanakan pada pilkada kali ini. Secara seksama tentunya diharapkan KPU sebagai lembaga yang profesional dalam melaksanakan pilkada pada prosesinya tidak terjadi kesalahan yang prinsipil. Kesalahan yang dimungkinkan terjadi adalah jumlah pemilih tetap yang sebelumnya memang sudah mengalami polemik dengan pihak eksekutif.

Sebagai lembaga pengawasan Panwas, merupakan lembaga yang mengambil bagian dari proses politik dalam pilkada, sehingga harus diberikan kewenangan luas untuk melaksanakan tugas-tugas pengawasan. Sebab proses pilkada yang dilaksanakan berdasarkan aturan maka hasil pilkada diharapkan tidak ada yang cacat hukum. Selain wewenang, kedua adalah lembaga panwas harus transparan kepada masyarakat

Dari hal tersebut di atas, meski belum memberi jaminan kesuksesan, namun memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kedewasaan politik masyarakat, dan merupakan langkah yang cukup efektif dalam mengawal hasil pilkada agar tidak berbuntut konflik.

Penulis

Aktifis HMI Cabang Gowa Raya

Jumat, 28 Maret 2008

Peran politik pemuda

Aroma pertarungan politik dakalangan pemuda sudah sejak lama berkumandang, baik dalam maupun dari luar negeri, dan ini selalu saja menjadi sebuah fenomena tersendiri dalam perjalanan ilmu perpolitikan di negara kita Indonesia khususnya.
Aura pemilu 2009 kini mulai terasa, semua parati-partai baik besar ataupun yang masih kemarin sore, mulai menyiapkan diri untuk menghadapi pertarungan akbar yang di helat di negara kita ini. tak ayal partai-partai kecil sudah melakukan sosialisasi di hadapan masyarakat umum, mulai dari melakukan deklarasi partai secara besar-besaran sampai pada melakukan aksi dadakan di jalan, hanya sekedar supaya masyarakat tahu bahwa partai itu ada dan telah lahir.
partai-partai besar dan yang sudah lama pun tidak mau ketinggalan, ramai-ramai melakukan aksi untuk merangkul kembali kantong-kantong suara-suara mereka pada pemilu lalu. namun fonomena yang menarik kit alirik adalah para kontestan yang baru akan ikut mencoba keberuntungan pada pemilu 2009, kehadiran mereka sedikit menarik perhatian publik, yakni partai ini adalah dulunya peserta atau kontestan pemilu 2004 lalu, namun tidak lulus dari standar jumlah suara untuk mengikuti pemilu 2009 nanti, dan yang brubah pada diri mereka adalah nama dan logo mereka saja, atau hanya menambahkan nama kecil di depan atau di belakang nama induk partai merka yang dulu. dan adapula yang menarik dari partai baru ini adalah pecahan dari partai besar yang memisahkan diri dari senior mereka yang dahulu, dengan mengatas namakan sebuah kelompok dari tubuh partai mereka, misalkan mengatas namakan barisan mudanya, atau barisan pembaruan mereka. namaun tidak terasa sikap pembaharuan mereka karena mereka masih dihuni oleh orang-orang yang dahulunya juga berada di tubuh partai induknya. yang menarik untuk di pertanyakan adalah, mengapa harus memisahkan diri?, apakah ada ketidak puasan dari parati induk?, setelah di telusuri ada banyak opini yang muncul, yakni adanya ketidak adilan dalam tubuh partai induk yakni ketidak meretaan atau kuran dilibatkannya mereka dalam pengambilan keputusan, atau ada pula yang mengatakan bahwa bila mereka bertahan di partai itu mereka susah untuk menjadi anggota dewan karena, merekan harus antri dengan para kader-kader tua yang masih banyak mengantri. atau mereka juga kurang mendapatkan hasil yang memuaskan dalam hal finansial, makanya untuk memuaskan keinginan mereka, lebih baik memilih keluar dan bergabung untuk mendirikan partai baru agar mereka bisa memuaskan keinginan mereka. inilah demokrasi dinegara kita yang terkesan sedikit kebablasan, namun kembali kita terpancing untuk bertanya untuk kedua kalinya, Mengapa harus memisahkan diri?. untuk menjadi seorang kader partai yang baik adalah dengan cara menghargai dan menghormati segala keputusan partai walaupun keputusan itu diluar atau bertentangan dengan keinginan kita. kader partai yagn baik adalah memenuhi segala apapun yagn diinginkan oleh partai, bukan karena tidak mendapatkan atau sesuai dengan keinginan lalu kemudian menarik diri dari partai itu demi memenuhi kebutuhan pribadi tapi berkedok demi kesejahteraan rakyat, orang-orang yang brkarakter seperti itulah yang bisa membuat hancur negara kita dan merupakan racun bagi demokrasi negara kita. kader partai yang mendirikan partai seprti ini lebih tepat bila mereka brgabung dengan "Asosiasi Partai Sakit Hati Indonesia".
cobalah kita belajar kepada partai-partai yang menerapkan system kaderisasi yang baik, banyak partai yang menjadikan kader muda mereka sebagai tulang punggung partai, tidak malah hanya dijadikan sebagai alat untuk pajangan saja. paratai kader yang mnjadikan pemuda sebagai nahkoda pada partainya akan lebih brjalan baik namun bukan berarti para pemuda itu sewenang-wenang dengan jabatannya dan melupakan para senior mereka, tetapi kedua belah pihak ini saling terkait dan saling mendorong, karena kedua unsur ini adalah ibarat dua hal yang saling membutuhkan, orang tua sebagai pengayom dan menjadi guru bagi yang muda, kemudian kekuatan dan semangat kaum muda menjadi pendobrak untuk meningkatnya kinerja partai. karena semangat dan kkuatan kaum muda, adalah snjata yang jarang dimiliki oleh orang-orang tua. makanya mari kita menyatukan diri, kader tua ataupun yang muda adalah merupakan dua unsuk kekuatan yang saling terikat. RAPATKAN BARISANMU SOBAT.....